Posts Tagged ‘kos’
ucil lulus sma
namanya ucil.
semalam kami berpesta untuknya. untuk kelulusannya. untuk kepindahannya. untuk segala kerja kerasnya. untuk jejalin yang tak merapuh. nyatanya dia melalui 3 tahun dari hidupnya di palmerah 224. dengan perempuan-perempuan pekerja.
“terima kasih untuk kakak-kakak semuanya …” katanya. pakaian merah jambunya yang terkesan ‘sobek-sobek’ itu lucu, seperti tidak siap untuk dipasangakan dengan celana pendek kotak-kotak hitam nya. š
dan semuanya bergembira.
bukan hanya mengantarkan ucil menanggalkan seragam abu-abu putihnya, tetapi juga sebentar memecutnya untuk hidup di jakarta. dengan segala keterbatasan. dengan kebutuhan untuk saling tolong-menolong. dengan reriungan yang hangat dengan orang-orang yang usianya bahkan dua kali lipat darinya.
ucil memang berbeda dengan dua teman lainnya yang juga tinggal bersama di rumah sewa ini. semuanya karena situasi yang ‘mepet’, ucil jadi rendah hati dan tak segan bertanya-meminta-meminjam apapun dari kamar tetangga. dan kami menjadi dekat. seperti adik sendiri.
bahkan ucil menjadi ‘manager kamar mandi’. owh!
dua kamar mandi untuk begitu banyak orang. “saat ucil dan teman-temannya datang, aku sampai berpikir, jam berapa aku harus mandi …” kata becca, semalam. gelak membahana. jam masuk kantor dan sekolah yang hampir bersamaan membuat antrian kamar mandi jadi lebih panjang.
tapi ucil mengaturnya menjadi lebih baik. lebih teratur. terima kasih.
rasanya tak pantas lagi memanggil ‘ucil’. namanya sekarang sudah sesuai nama aslinya; yossy.
ada dinosaurus di kos-kosan
pagi ini saya dikejutkan dengan teriakan teman-teman kos.
“telurnya sudah pecah! dinosaurus! bayi dinosaurus! keluar dinosaurusnya! …” owh. pagi terasa lebih cepat datang mendengar hingar-bingar itu. saya ingin beranjak. tapi mata tak bisa terbuka. *dasar malas* dan saya memilih menanti hingga tubuh ini sungguh-sungguh sempurna untuk bangkit dan menyambut kelahiran bayi dinosaurus di rumah palmerah.
telur dinosaurus itu dirawat oleh rebecca atau kak becca. eh, bukan dierami, lo. sudah beberapa hari ini, saya memang melihat ada telur terendam dalam toples kaca di ruang tengah. saya pikir, siapa yang kurang kerjaan merendam telur dalam toples begini. putih, seperti telur kampung, hanya saja berukuran besar. tak menyangka, ada bakal dinosaurus di dalam sana.
dan kami semua menyambut pagi dengan meriah untuk kemunculan si bayi dunosaurus. entah, kak becca menamainya dengan nama apa. warnanya oranye. kaki (tangan??) terangkat ke atas, menengadah. warna keputihan memenuhi telapaknya. seperti memberi salam.
aih, bayi dinosaurus, selamat datang.
dan telur kian menciut, sementara dinosaurus semakin membesar. entah, bagaimana memberinya asupan gizi yang seimbang sementara kak becca sangat menyukai mie dan kopi saja.
pada kak becca, saya pesan bayi bebek.
menjelajah ruang maya
semalaman akhirnya saya menemukan kegembiraan kecil ini: menjelajah ruang maya, sampai tertidur.
kasur bersprei merah ini selalu menjadi alas yang hangat dan empuk untuk menjelajah. dari halaman flock di laptop mungil, saya temukan beberapa ruang untuk belajar. jurnalistik. resep masakan. interior ruangan. hobby kaum the have, dan masih banyak lagi.
sampai saya jatuh tertidur. seperti biasa.
dengan ponsel di tangan. itunes yang menyala dengan gending-gending jawa. kacamata terpasang di hidung. dan teks panjang soal dollarization di halaman jurnalistik. owh, no! lima belas menit sebelum alarm pagi berbunyi, saya terbangun, menata kasur dan kembali menarik selimut ke atas.
lama sekali saya tidak belajar di rumah. membuka situs yang tak saya halalkan untuk saya buka di kantor.
saya belajar. membuka halaman putih. membaca. mencoba mengerti. menjelajah.
kancut saya hilang
semalam saya hanya menemukan dua hanger saja. dimana kancut saya?
pierre cardin. iya, mereknya pierre cardin. dua lembar kancut. iya, celana dalam. warnanya hitam licin. nyaman sekali menadah bokong saya. sialan. kenapa tak tercantol dalam hanger mungil itu?
saya sudah mencoba mengitari jemuran kecil, jemuran yang lebih kecil dan jemuran besar. gantungan di depan kamar-kamar saya telisik satu persatu. tumpukan pakaianĀ di ruang tengah. hasilnya nihil. kancut saya hilang. dua lembar. pierre cardin. saya bongkar keranjang baju kotor, siapa tahu saya lupa tak mencucinya. aih, tidak ada. berarti, saya cuci. dan hilang.
sialan.
perpisahan jam 9.12
jam di handheld BB saya menunjukkan jam 9.12 saat saya masuk kamar lagi, usai mengantar epoy pindahan. kamar sebelah sudah kosong. epoy sudah pindah.
hiks.
sedih banget ada temen pindah kos. eh, bukan pindah kos sebenernya, tapi pindah ke rumah baru karena mau menikah. sejak dulu saya enggan mengantar kepindahan teman. bahkan, untuk epoy, saya sudah bilang padanya untuk tidak akan melihat dia pergi dari kos di hari terakhir. “aku tanggal 20 sudah enggak disini lagi, bablas langsung sampai tahun baru 2008,” katanya pada saya, suatu hari.
saya benci perpisahan. meski tak bisa menolak, tapi sungguh, saya tak ingin melihat orang memunggungi saya untuk pergi, sembari melambaikan tangan. saya tak ingin melihat orang mengatakan, “bye, see you later!” saya justru ingin dilimpekke, saya tak ingin melihat kepergiannya untuk yang terakhir. saya hanya ingin melihat dia sudah tidak ada. itu saja.
Ā saya ingat betul bagaimana mengantarkan esti, kakak saya, ke bandara. saya akan melihatnya lagi tiga tahun yang akan datang. melihatnya memasuki pintu screening di bandara, uwh, butiran bening ini tak bisa berhenti mengalir. saya tahu dia harus pergi sebentar. tapi, saya sungguh tak ingin melihatnya punggungnya pergi menjauhi saya.
juga oluyinka, seorang teman dari Nigeria, yang lebih dulu terbang di pagi hari ketimbang saya. pagi-pagi, saya sengaja tak bangun lebih awal untuk mengatakan goodbye padanya. saya memilih meringkuk di kasur. eh, oluyinka justru mengetuk pintu kamar untuk memberi pelukan terakhir. mau tak mau, saya harus mengantarnya sampai depan, memberi pelukan hangat, melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. lagi-lagi, mata ini basah.
frank, seorang teman dari australia, harus pergi pagi-pagi buta. saya tak ingin mengantarnya ke bandara. saya ingin tinggal di kamar saja. “antar aku …” katanya. uwh. iya, saya antar. dan benar. rasanya sulit untuk mengangkat tangan, melambaikannya dan bilang goodbye. yang ada, sudut mata sudah membanjir, dan napas menjadi sesak tiba-tiba.
begitu juga pagi ini.
semula, saya mengira hari ini dia bakal sudah raib dari kamar sebelah. itu sebabnya, kepulangan saya ke jogja untuk merayakan natal saya bikin tanggal 21 desember dari Jakarta. tapi apa yang saya dapati semalam? tapi, ternyata tidak. pulang ke rumah, barang-barang epoy masih berserakan. keranjang sampah, alat mandi, sepatu, sandal jepit. duh. bahkan, tanggal 19 desember adalah malam terakhir dia menginap di kos. spreinya pun sudah ia gulung. tidur hanya beralas kain batik. aduh. saat mencuci belasan kaos di ruang cuci, epoy muncul. uwh. Ā
“jam berapa besok pergi?” tanya saya pada epoy, semalam. “jam 8 pagi,” jawabnya singkat. maka pagi ini saya sengaja tak buru-buru bangun. udara pagi jakarta yang lebih adem dari biasanya, membikin saya agak betah di kamar. dan, saya ‘ingin lupa’ bahwa semalam adalah perbincangan terakhir di kos dengan epoy. saya juga ‘ingin tidak melihat’ kendaraan menculiknya dari kos ini. saya berharap saat bangun dia sudah pergi. tapi … ternyata jam baru menunjukkan pukul 7.53. asem.
saya bangun. menghampiri kamarnya. membantunya packing. “kenapa gue malah ngebantuin lo packing, poy?” seru saya dalam hati. sungguh, saya sedih. bukannya emoh membantu mengepak perkakasnya. tapi saya tak ingin menjadi orang yang melihatĀ langkah Ā kaki terakhirnya di kos ini!
“orang kan harus meninggalkan, fem. nanti, kamu juga seperti ini,” katanya, semalam. meski bijak, tapi terdengar klise. bisa jadi tulus. tapi, saya malah melihat dia hanya ingin menghibur saya saja. dia tahu, saya orang yang paling bersedih saat ini.
“ternyata orang hidup itu ada alurnya ya … bertemu dengan orang-orang, bersama-sama, kemudian pergi …” katanya lagi. dalam hati saya, ah basi. memang benar. tapi, jangan mencoba menghibur hati saya ah. mendadak frozen nih.
juni 2003, saya menjadi penghuni rumah sewa di palmerah utara II/224. kedatangan saya hanya selisih satu hari dengan epoy. sama-sama dari jogja. sama-sama di sekolah perempuan saat usia belasan. sama-sama menjadi penghuni baru di kos ini. saya tahu betul daerah boro, rumah asalnya. kedekatan emosional ini yang membikin saya dekat dengannya, lebih dari empat tahun belakangan ini.
kami gemar merumpi.
membincangkan tetangga kamar sebelah. membincangkan laki-laki nakal di rumah maya. membincangkan model pakaian yang harganya bisa bikin puasa sebulan. membincangkan makanan tradisional. membincangkan jogja. membincangkan santa maria, stella duce dan de britto. membincangkan atmajaya dan sanata dharma. membincangkan tas ratusan ribu dengan model berbeda.
kami gemar mencuci bersama.
malam, kami meriung di ruang cuci. jongkok berdua. berbagi air dan ember. juga, berbagi tawa. sambil merumpi tentang rumah kos dan fasilitas yang serba terbatas. tentang ember pecah dan berlubang. tentang jemuran yang tak kering-kering. tentang keran air yang susah dibuka dan ditutup.
kami gemar mojok di kamar uthe, kamar epoy, kamar saya, bahkan ruang tengah.
membagi gelak dengan teman-teman, sembari berbisik-bisik soal si anu dan si anu. menutup dengan cepat channel televisi yang menayangkan adegan mengerikan. berbagi makanan dan memutarkan ‘piala kedodolan’. menyimak cerita lucu ucil yang bikin berkerut (berarti nggak lucu ya?). mencari perbedaan kosakata jawa dan batak. duh.
besok tidak lagi. iya. besok tidak lagi. bisa jadi, malam nanti saya salah tingkah. sendirian di rumah sewa, tanpa epoy.
tapi, hidup harus jalan terus kan? š saya tahu betul, kelak saya juga menjadi seperti epoy. keluar dari rumah sewa. pindah ke rumah karena menikah. (amin, amin, amiiiiiiiinnnnnnn …) hanya saja sekarang harus mulai menyusun rencana: kapan bisa ketemu epoy ya? mungkin makan siang. mungkin belanja bareng. mungkin chat saja. mungkin berkirim email dan pesan pendek.
pagi tadi, saya emoh bersalaman dan ciuman dengan epoy. lihat tidak, kelopak mata ini ditahan agar tak mengedip. sekali mengedip, lapisan tipis air di atasnya akan meleleh. sambil menggeret gerbang, toh, kucuran butiranĀ bening ini tak bisa ditahan. saya menangis. Ā
teman. sahabat. kakak. “love you, sist. wish you luck!” tulis saya di pesan pendek yang saya kirimkan untuknya.
kentang bakar
asyik, kemah!
apa yang lebih nikmat dari irisan kentang? tidak ada. dibakar. dipanggang. direbus. digoreng. semuanya sama enaknya. kaya energi. kentang yang kuning dan bulat ini mempertebal keyakinan saya akan risiko penyakit yang bisa saya tekan. diabetes. kentang menggantikan nasi.
dan saya merebus kentang kini, saat kemah disini.
saya masih terus membolak-balik panci berisi kentang. kali ini saya memanggang kentang. menjadi agak kering, tetapi matang dan tidak membatu. saya terus membolak-balik. hasilnya harus sempurna. saya mengiris kentang setebal satu sentimeter. saya tidak mengupas kulitnya. saya membiarkannya begitu saja. kentang terbakar. menghitam. saya membolak-balik. tujuannya sama, agar tetap terbakar sempurna.
bayangkan seiris kentang dengan cocolan sambal pedas. atau daging sapi yang diiris menyerupai dadu dalam permainan monopoli. atau, guyuran saus steak bakal menggenapi rasa keduanya. kentang bakar dengan daging sapi, disiram kuah steak. apalagi ada rebusan brokoli dan wortel plus tomat. berkemah menjadi lebih asik. lebih seru.
kentang bakar.
tapi saya sedang tidak kemah. saya ada di bawah atap asbes di rumah sewaan di palmerah. saya sedang ada di dapur. buru-buru mengangkat rebusan irisan kentang yang lupa saya angkat. kentangnya gosong.
iya, niatnya sih kentang rebus. tapi lupa mengangkat. menjadi kentang bakar.