The red femi

Archive for October 22nd, 2006

Gereja Blenduk yang mblenduk

leave a comment »

p1070369.JPG

mbenduk … mblenduk …

“bukan mblenduk … tapi blenduk!” tegas deon. uwh. iya, iya. namanya juga lidah Jawa. bilang bandung tetap saja mBandung. bilang bantul ya mBantul.

nama gereja ini gereja Blenduk lantaran bentuk kubahnya yang seperti irisan bola, maka orang mengatakan ‘mblenduk’. gereja yang kini dihuni untuk umat protestan ini dibangun pada tahun 1750 dan dipugar pada tahun 1894 HPA de Wilde Westmas.

gereja peninggalan Belanda ini juga menarik dari sisi desainnya. lihat, di sisi timur, barat dan selatan bangunan, terdapat portico bergaya Dorik Romawi. sementara itu ua buah menara berada di bagian depan, simetris di kiri dan kanannya. di bawah kubah kecilnya terdapat dua buah jam. pintu masuk merupakan pintu ganda dari panel kayu. ambang atas pintu berbentuk lengkung, demikian juga dengan ambang atas jendela.

ada dua tipe jendela di gereja ini, pertama, jendela ganda berdaun krepyak, kedua, jendela kaca patri warna-warni yang begitu khas. juga, sebuah ruang terbuka bekas Parade Plein di sebelah timur bangunan, menambah keistimewaan Gereja ini. Gereja ini sekarang memiliki nama resmi GPIB. (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat) Immanuel.

gereja ini menempati areal seluas 400 m², bangunan ini berbentuk segi delapan beraturan (hexagonal) dengan penampil berupa bilik-bilik empat persegi panjang dan sisi sebelahnya berbentuk salib Yunani. bentuk inetriornya seluruhnya bercirikan Belanda yang dihiasi sulur tumbuhan yang tertata dari bahan sedangkan pada balkonnya mempunyai bentuk keindahan interior yang unik.

kalian, sudah mampir belum?

Written by femi adi soempeno

October 22, 2006 at 8:23 pm

Posted in Uncategorized

Kota Lama, Semarang

leave a comment »

p1070374.JPG

diantar deon, saya menuju ke Kota Lama, Semarang.

sudah sejak lama saya ingin ke kawasan ini. saat memasuki area ini, rasanya saya berada di Malaka. kawasan di Malaysia ini memiliki potret yang serupa dengan Kota Lama. Maret lalu, saya dan Malaka berpisah dengan selaksa kenangan yang membekas. bersama ayah. ya, bersama ayah. disini pula –minus ayah– banyak bangunan tua nan bersejarah yang sayang untuk dilewatkan. Kota Lama ini mengekor bangunan kolonial bergaya pseudo baroch yang sempat ngetrend di Eropa pada abad 17-18. menjejak Kota Lama adalah menapaki sejarah masa silam. saya membayangkan berada di pinggir salah satu jendela. menikmati rinai hujan yang merintik kecil-kecil.

konon, kawasan yang berbangunan indis ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan (bisnis) bagi pemerintah Hinda Belanda pada abad 17-18 . hitung punya hitung, ternyata jaraknya tak jauh dari pelabuhan dan stasiun kereta api. barangkali itu sebabnya kawasan Kota Lama ini menjadi denyut perekonomian di kota ini. area Kota Lama ini ada di dalam ruas jalan yang dibangun oleh Daendels (jalur Anyer-Panarukan).

beberapa bangunan di Kota lama ini ialah Gedung Marba, Gedung Asuransi Jiwa, GPIB Imanuel atau Gereja Blenduk, Gedung PELNI, Gabungan Koperasi Batik, Bank Mandiri, Kantor Pos, dan Gedung IAI Jawa Tengah. mengintip dinding yang sudah koyak, pondasi bangunan lawas ini ialah batu dengan sistem strukturnya dari bata. dindingnya terbuat dari bata setebal satu batu.

ada beberapa kekurangan yang tak bisa ditutupi oleh kawasan Kota Lama ini. misalnya saja, penghuni liar atau gelandangan jamak dijumpai di kawasan ini. selain itu, air rob atau air pasang dari Laut Jawa tak jarang menggenangi sebagian kawasan ini.

tak sabar saya ingin segera pulang ke rumah. bercerita pada ayah: “be, saya menemukan Malaka di Semarang. iya, bangunan tua. arsitektur Indis. rumah lawas … iya be, seperti yang pernah kita kunjungi dulu …”

(ps: sungguh, saya ingin menangis saat melihat kawasan ini. soalnya, saya jadi ingat ayah dan bagaimana kami merasa ‘ajaib’ ada di Malaka. disana, kami menjumpai bangunan lawas yang terawat dengan cantik, aspal konblokan, lenggangan leluasa di sepanjang jalan dan … penjual es cendol!)  

Written by femi adi soempeno

October 22, 2006 at 7:27 pm

Posted in Uncategorized

Gedong Batu, ‘rumah’ pak laks

leave a comment »

 “GOENOENG Simongan, dahoeloe ada kepoenjaannya seorang Jahoedi tidak heran djikalaoe saben tahoen ia (orang Jahoedi) minta persewaannja itoe tanah jang diboeat Klenteng lima ratoes roepiah. Persewaan mana dahaoeloe ada raad Kong Kwan jang saben tahoennja memoengoet oewang oeroenan boeat membajar sedjoemlah jang terseboet. Maski poen dibilang boekan satoe djoemlah jang besar tapi bisa dianggep satoe perkara koerang hormat bagi kesoetjian…” —–1879, Oei Tji Sien.

p1070261.JPG

saya sudah menjejak Klenteng Sam Poo Kong atau klenteng Sam Poo Thay Jin. selain dua nama besar itu, klenteng ini juga dikenal dengan nama Gedong Batu oleh masyarakat Semarang. awalnya, klenteng ini digunakan ini untuk memuja Laksamana Dinasti Ming (1368-1643) dalam masa pemerintahan Kaisar Yung Lo. laksamana ini diutus menjadi duta kaisar ke Nusantara tepatnya ke pulau Jawa, dan mendarat di pantai Semarang pada tahun 1401.

sesuai struktur bangunannya, bangunan inti dari klenteng ini adalah sebuah gua batu dan merupakan tempat utama dari lokasi ini. konon, gua batu ini dipercaya sebagai tempat awal mendarat dan markas Laksamana Cheng Hoo beserta anak buahnya saat berkunjung ke Pulau Jawa. dalam gua ini, saya melihat patung yang dipercaya sabagai patung Sam Poo Tay Djien. 
 
meski ingin ciamshie, tapi saya tidak melakukannya. ciamshie ini dilakukan untuk melihat suatu keberuntungan di masa depan. saya melakukannya di sebuah klenteng di bilangan Kota, Jakarta. caranya, membakar hio atau dupa dalam gua batu dan melemparkan kepingan didepan altar sembahyang yang ditandai dengan “Im” dan “Yang”. nah, kalau lemparan tersebut salah satu keping terbuka dan satunya lagi tertutup, maka dipercaya akan memperoleh keberuntungan.

cara lainnya bisa dengan melemparkan sekumpulan batang bambu secara acak dan apabila terdapat batang bambu yang jatuh di hadapan altar sembahyang, maka batang bambu tersebut tinggal diserahkan kepada petugas. si juru kunci kemudian buka contekan dari selembar kertas yang bernomor 1 sampai dengan 28 disesuaikan dengan batang bambu yang jatuh. tulisan yang tertera di kertas itu ialah syair-syair yang akan diterjemahkan oleh si jurukunci.  
 
Laksamana Cheng Hoo punya orang-orang kepercayaan saat berlayar di Jawa. nah, disini ada beberapa bangunan yang namanya dicuri dari orang-orang tersebut. misalnya, Mbah Kiai Cundrik Bumi merupakan tempat segala jenis persenjataan yang digunakan untuk mempersenjatai awak kapal. Kiai atau Nyai Tumpeng berkaitan dengan urusan makanan di kapal. Kiai Djangkar tempat meletakkan jangkar kapal.  Mbah Djurumudi dipercaya sebagai makam dari jurumudi kapal.

saat foto di klenteng ini, saya berasa ada di cina. hahaha …

Written by femi adi soempeno

October 22, 2006 at 2:03 pm

Posted in Uncategorized

Eva coffee house

with 2 comments

 

sudah lama saya dengar tentang kopi legendaris ini.

kopi. ya, kopi!  

thanks gosh, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki ke tempat ini, eva coffe house di bedono, ambarawa, jawa tengah. letaknya persis di tikungan. duh, rupanya hanya saya yang bawa kendaraan di rumah kopi ini. yang lainnya datang rombongan dan mengendarai roda empat. hihi …

rumah kopi ini adalah bisnis keluarga orang ambarawa sejak tahun 1956 yang memiliki lahan seluas 4 hektar di sebelah belakang bagian warung kopi. selang dua tahun sesudah kopi ditanam, si empunya membangun sebuah warung kopi yang isinya beberapa meja saja. pendeknya, masih kecil.

p1070244.JPG p1070245.JPG

pucuk daun yang mengangguk-angguk, hawa dingin di ambarawa, tenang burung berdecit, rupanya membuat rumah kopi ini semakin dikenal banyak orang. kopi yang dilabeli KOPI EVA laris manis di pasaran, dalam bentuk sirup kopi, biji kopi dan kopi siap masak. duh … sirup kopi ini memang unik. di tempat lain, saya kok belum pernah menjumpai sirup kopi. ganti rugi satu bungkus kopi eva Rp 5000 dan Rp 12.500, tergantung besar kecilnya. biji kopi harganya Rp 12.500 seplastik. sedangkan sirupnya Rp 25.000 per botol.  saya membungkus empat kopi eva yang harganya masing-masing Rp 12.500.

warna kopi eva pekat, gelap, dan tak kasar.

saya juga sempat makan nasi rawon. sebenernya ada lontong rawon. tapi entah, saat benak ingin menjjajal lontong rawon, tetapi pesan yang sampai di tangan ternyata mencatatakan pesanan nasi rawon. ribet ya. saya ingin yang segar, yang berkuah. jadi, nasi rawon rasanya bukan pilihan yang buruk. seporsinya dipajakin Rp 15 ribu.

selain lontong rawon, rumah kopi ini juga memiliki makanan yang layak dicoba, yaitu gudeg manggar. manggar adalah kuncup bunga kelapa. rasanya  gurih dan tertinggal di mulut dengan sempurna. seporsi nasi gudeg manggar dipatok Rp 30 ribu.

ada sirup kopi, tinggal tuang dan aduk.

dalam bon yang saya terima, ada tulisan besar-besar: SPD. “kalau naik sepeda motor, nggak saya pajakin 10%. maka ditandai dengan tulisan SPD. tapi kalau bawa mobil, ada pajaknya 10%. mbaknya pakai motor kan? nah, waitres kami menuliskan SPD, artinya mbak naik motor,” terang generasi kedua pemilik rumah kopi eva.

wah, terima kasih sekali. kalau jalan kaki, apa makan dan minum kopinya bakal gratis juga?

Written by femi adi soempeno

October 22, 2006 at 2:03 pm

Posted in Uncategorized

Museum kereta api

leave a comment »

p1070466.JPG

saya tidak tahu, kereta mana yang dikemudikan oleh kakek saya dulu. kakek saya adalah masinis. tapi itu dulu, dulu sekali. namanya wongsodidjojo.

tadi, sepulang dari Semarang menuju Jogja, saya mampir di museum kereta api di ambarawa. harga tiket masuk Rp 3000 per orang, tanpa disertai bukti tiket.

dulunya, tempat ini dikenal sebagai Stasiun Willem I. tak heran, ada tulisan Willem I begitu kita memasuki stasiun ini. gedung bekas peninggalan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda kala itu, menyimpan sekitar 24 lokomotif kuno buatan tahun 1891-1966. agkutan besi ini menjadi koleksi setelah hampir satu decade bertugas menjelajahi Pulau Jawa.

misalnya saja lokomotif CC50 buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda. nama lainnya adalah Bergkoningin alias Ratu Pegunungan lantaran lokomotif dengan tahun produksi 1927 itu, mampu melewati jalur pegunungan dengan tikungan-tikungan tajam.

ada juga lokomotif kebanggaan perusahaan kereta api milik pemerintah Kolonial Belanda, Staatsspoorwegen (SS), C28. Loko buatan Henschel, Jerman, ini tercatat sebagai loko tercepat di seluruh dunia untuk ukuran rel sempit (1.067 mm) pada era 1920-an. kecepatannyab pada masa itu bisa mencapai 120 kilometer per jam. wuih. saya berharap, kakek saya menunggangi kereta besi ini.

ada lagi lokomotif kuno lainnya, seperti loko F10 buatan Hanomag, Jerman. lokomotif C54, loko kebanggaan Semarang Cheribon Stoomtram Maatscappij (SCS); dan loko C51, loko kebanggaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS).

bila saya datang berombongan, saya bisa menyewa kereta uap senilai Rp 3.250.000 untuk mencicipi pemandangan jalur Ambarawa-Tuntang. Keelokan Danau Rawa Pening akan menyapa para penumpang kereta wisata di rute tersebut. Keindahan panorama pada rute Ambarawa-Tuntang sebenarnya tidak berhenti pada keelokan Danau Rawa Pening.

naik kereta api tut tut tut … siapa hendak turut …

ps:

tentang museum kereta api  ambarawa ini juga bisa i\dintip di sini atau di sini

Written by femi adi soempeno

October 22, 2006 at 9:41 am

Posted in Uncategorized